Di siang hari yang cerah, tampak seorang ibu di depan pintu rumahnya kedatangan seorang pengemis muda.
Ia tampak berpakaian lusuh, berbadan dekil, dan sebelah tangannya kurang lengkap.
Si pemuda berkata sopan, “Ibu yang baik, bolehkah saya minta sedikit makanan dan minuman, saya dari pagi belum makan. Tolong beri sedekah makanan pada orang seperti saya, Bu.”
Dengan senyuman lembut tapi tegas, si ibu menjawab, “Boleh, tetapi engkau harus mengerjakan sesuatu sebelum engkau menikmati makanan itu. Apakah engkau sanggup?”
Si pemuda pun menjawab, “Baiklah, pekerjaan apa yang harus saya kerjakan?”
Segera si ibu menunjuk ke arah setumpuk batu bata yang ada di halaman rumah,”Anak muda, pindahkan semua batu bata itu ke belakang rumah.”
Dengan raut muka terkejut, si pemuda menjawab. “Maaf Bu, bagaimana saya dapat memindahkan semua batu itu dengan sebelah tangan seperti ini?” Pengemis muda itu tampak keberatan.
“Kalau ingin makan siang, kamu harus membayar ‘harganya’. Silakan kerjakan, atau pergilah dari sini.” Mendengar ucapan tegas si ibu, meski lapar, si pemuda mulai melakukan pekerjaan yang diminta oleh si ibu.
Kira-kira satu jam kemudian, dengan keringat bercucuran, pemuda itu pun akhirnya dapat menikmati makan siang paling nikmat yang pernah disantapnya. Ia juga menerima uang tambahan sebagai imbalan hasil kerja kerasnya.
Selang beberapa hari kemudian, pengemis makanan itu datang lagi ke rumah ibu itu. Kembali, ia pun disuruh melakukan pekerjaan memindahkan batu bata. Namun, kali ini ia harus mengembalikan batu bata itu dari belakang ke halaman depan.
Keluarga sang ibu heran dan tidak mengerti, mengapa bunda mereka menyuruh pengemis muda itu melakukan pekerjaan memindahkan batu bata kembali ke tempat semula. Namun si pemuda, tanpa bertanya lagi, segera bekerja memindahkan batu bata dengan semangat dan menyelesaikannya dalam waktu yang lebih cepat.
Ia pun kembali mendapatkan upahnya. Setelah menyantap makanan yang lezat sambil mengantongi upah, dia mengucapkan terima kasih dan berpamitan pergi.
Waktu pun terus berjalan cepat. Kira-kira sepuluh tahun kemudian, ibu itu kedatangan seorang tamu muda yang mendesak ingin bertemu dengannya.
Dengan mata tuanya, ia menatap pemuda berpakaian rapi dan berkesan mahal di hadapannya.
Dengan senyum ramah, pemuda itu menjabat tangan si ibu dan menyapa, “Ibu, masih ingat saya? Pemuda dengan sebelah lengan, yang sepuluh tahun lalu pernah minta makan kemari?”
Si ibu menganggukkan kepala dengan senang, “Ya, ibu tentu ingat pada anak muda yang rajin memindahkan batu bata di rumah ini. Sekarang engkau sudah berubah. Apa yang bisa ibu bantu?”
“Saya menyempatkan diri kemari ingin mengucapkan terima kasih kepada ibu. Berkat pelajaran ‘tidak ada makan siang gratis’ yang ibu berikan kepada saya waktu itu, saya menyadari, ternyata saya mampu bekerja seperti layaknya orang yang bertubuh sempurna. Mulai saat itulah, saya bekerja keras dan bertekad untuk membuktikan bahwa fisik yang kurang lengkap bukan berarti harus menunggu belas kasihan orang lain. Dan saya merasa sangat bersyukur, sekarang saya telah berhasil menjadi seorang pengusaha yang sukses.”
Sambil bercerita kisah perjuangan hidupnya, ia mengangsurkan selembar cek kepada si ibu, “Bu, terimalah cek ini sebagai tanda terima kasih saya. Silahkan isi sendiri angkanya. Jika ibu berkenan, saya juga telah menyiapkan sebuah rumah peristirahatan untuk ibu memasuki masa pensiun nanti.”
Dengan mata berkaca-kaca si ibu berkata, “Terima kasih atas perhatian dan niat baikmu anak muda. Maaf, ibu tidak bisa menerima semua ini. Ibu masih sehat tidak kurang sesuatu apa pun. Bisa melihat kamu sukses, ibu pun ikut berbahagia. Yang penting, tularkan semangatmu pada orang lain,” ucap si ibu sambil mengembalikan cek kepada si pemuda.
Sebagian besar dari kita, memang tampak luar memiliki tubuh yang utuh dan sempurna, tetapi sering kali justru memiliki mentalitas yang miskin dan ‘cacat’.
Sebaliknya, tak jarang, walaupun secara fisik ada orang yang mungkin tidak sempurna, tetapi karena ia mempunyai mental kemandirian untuk berjuang, harkat dan martabat dirinya sebagai manusia pasti akan terangkat. Tak sedikit dari mereka bahkan menjadi orang yang sukses.
Apa pun keadaan kita, setiap manusia mempunyai hak yang sama untuk sukses. Kita ditakdirkan lahir dengan kelebihan dan kelemahan masing-masing. Semestinya kita belajar dan berusaha untuk bisa mengatasi kekurangan dan kelemahan yang ada pada diri kita, dan selayaknya pula kita kembangkan kelebihan atau potensi diri yang kita punyai. Dengan semangat juang yang tinggi dan sikap pantang menyerah, kita buktikan mampu menjadi pemenang yang sesungguhnya.
“There is no such thing as a free lunch”
Gan ijin copy kisahnya buat dianimasikan dan di upload di youtube? Boleh ya gan?
Maknanya apa?