Mulia Bagi Keluarga Dan Sesama

Sepulang dari sekolah, Galuh datang kepada ayahnya yang sedang membaca koran di teras belakang rumah.

“Ayah,” sapa Galuh dengan kepala tertunduk dan nada suara yang murung.

Sambil menurunkan koran yang sedang dibacanya, sang ayah memandang putrinya yang beranjak remaja itu. Ia tahu, ada sesuatu yang menjadi beban pikiran anak kesayangannya itu. “Ada apa, Nak? Bagaimana sekolahmu?”

Dengan lesu, Galuh menjawab, “Ayah. Galuh merasa capek. Yah, Galuh sudah belajar mati-matian, untuk mendapat nilai bagus di sekolah. Tapi teman sekelasku selalu bisa mendapat nilai lebih bagus dengan cara menyontek. Itu kan tidak adil namanya. Selain itu, Galuh juga capek karena harus membantu ibu membersihkan rumah hingga waktu belajar pun jadi berkurang, sedangkan teman Galuh rata-rata mempunyai asisten rumah tangga yang setiap saat bisa menyelesaikan semua urusan rumah.”

Dengan suara lebih lantang, Galuh melanjutkan unek-uneknya.

“Galuh juga capek, karena harus menabung dulu untuk bisa membeli sesuatu, sedang teman-teman bisa belanja tanpa harus menabung. Lebih capek lagi, Galuh harus menjaga segala ucapan dan tingkah laku, sedangkan teman-teman seenaknya berbicara, bahkan kadang mereka melontarkan ucapan yang membuat Galuh sakit hati. Pokoknya, Galuh capek menahan diri. Galuh ingin seperti mereka. Bebas berkata dan melakukan apa pun,” ungkapnya dengan nada berubah sendu, hingga kemudian ia pun mulai meneteskan air mata dan menangis tersedu-sedu.

Sambil mengelus kepala si Galuh penuh sayang, ayah berkata, ”Ayah tahu kamu sudah berusaha belajar maksimal. Ayah juga tahu kamu selalu berusaha jadi anak yang baik. Semua itu, juga demi kebaikanmu. Jangan menangis. Besok ayah akan menunjukkan sesuatu kepadamu.”

Keesokan harinya, sang ayah mengajak Galuh pergi ke suatu tempat yang tak jauh dari rumahnya. Di sana, mereka berhenti sejenak di tempat, yang di depannya ada semak belukar dan pepohonan rindang. “Kamu harus ikut. Tapi, hati-hati ya. Ikuti langkah ayah baik-baik.”

Tak lama, ayah-anak itu menyusuri jalan yang penuh semak belukar di depannya. Mereka juga melintasi jalanan berlubang di sana sini dengan banyak genangan air, pepohonan berduri dan berbagai serangga yang berdengung di sekitar mereka. Jika tak hati-hati, banyak ranting tajam dari berbagai pepohonan yang bisa menggoreskan luka atau merobek baju.

”Ayah, kita mau ke mana sih?” tanya Galuh bingung. “Jalanan begitu kotor, seram, tidak banyak sinar matahari. Kaki Galuh luka tergores duri. Banyak nyamuk dan serangga pula!”

Sang ayah hanya menjawab pendek, “Sabar Galuh, yang tegar, sebentar lagi….”

Setelah sekian lama, di akhir perjalanan, mereka sampai di sebuah telaga yang menakjubkan. Airnya sangat jernih dan segar. Di sekelilingnya bunga yang cantik dan pepohonan rindang yang menyejukkan, serta burung dan kupu-kupu beraneka warna.

Galuh terpana kagum. Ia tak mengira, di tempat yang tak jauh dari rumahnya, ternyata ada pemandangan yang begitu indahnya.

”Anakku, tahukah kau mengapa di sini begitu sepi padahal tempat ini amat indah?” Tanya sang ayah. “Karena tidak banyak orang yang mau bersusah payah menyusuri jalanan yang jelek dan penuh tantangan tadi, sehingga mereka tidak bisa menikmati surga alam yang begitu elok dan menawan ini.”

Sembari mengelus kepala Galuh, sang ayah melanjutkan nasihatnya, “Untuk menikmati sesuatu yang indah, perlu perjuangan dan kesabaran. Sama seperti kehidupan ini, harus sabar, tegar dalam bersikap baik, sabar dalam kejujuran, sabar dalam memperjuangkan kebenaran nilai. Tegar dalam menghadapi setiap kesulitan dan masalah yang muncul.”

“Tapi kan tidak mudah untuk selalu bersabar dalam kebenaran, apalagi aku yang mengalami banyak kejadian yang kurang menyenangkan di sekolah?”

“Memang,” jawab sang ayah dengan lembut. “Karena itu, Ayah dan ibu senantiasa menggenggam tangan Galuh, membimbing dan mendukung dalam kebaikan dan kebenaran. Hingga kelak suatu saat nanti, Galuh mampu tegak berjalan sendiri, mulia bagi keluarga dan sesama. Apakah Galuh mengerti?”

”Mengerti Ayah, terima kasih.”

Jalanilah hidup dengan penuh keberanian, keuletan, dan kesabaran. Terus berjuang, pantang menyerah, siapkan mental, agar kita jadi pemenang sejati kehidupan.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top